yunani

SANTORINI, TRAVELING PERTAMA POST LOCKDOWN

25 JUNI 2020

Setelah 3 bulan lebih ‘terpenjara’ di pulau Crete, akhirnya tersiar kabar resmi bahwa kami ‘dibolehkan’ untuk traveling keluar dari pulau ini terhitung 1 Juli 2020.

Karena status kependudukan kami dibawah SOFA (Status of Forces Agreement) antara Amerika dan Yunani, maka aturan untuk kami pemegang SOFA agak sedikit berbeda dengan warga Yunani atau Uni Eropa lain. Kami terikat tidak hanya dengan aturan pemerintah Yunani (Uni Eropa) tapi juga dengan pimpinan di markas militer Souda Bay, dimana untuk saat ini membolehkan kami traveling hanya di dalam Yunani.

Well, better than nothing, right?

Rencana awal, kami akan menghabiskan akhir pekan yang bersamaan dengan liburan 4 Juli di Athena. Tapi kemudian saya usul ke Brian untuk ke Santorini saja, karena mungkin saat ini Santorini tidak akan terlalu padat, begitu pikir saya.

Saat Brian setuju, sekelebat saya menjelajah dunia maya untuk mencari tiket pesawat dan akomodasi. Hanya dengan hitungan beberapa jam tiket pesawat, penginapan, dan penjemputan kami di Santorini pun siap.

3 JULI 2020

Tepat pukul 7.30 taksi yang kami pesan tiba.

Perjalanan dari rumah ke bandara Chania hanya sekitar 30 menit, malahan mungkin kurang. Pesawat yang akan membawa kami ke Athena pun baru akan terbang pukul 09.30, masih lama. Tapi itulah kami, lebih memilih pergi awal dari rumah, untuk kemudian menunggu lama di bandara, daripada terburu-buru.

Tiba di bandara Chania, kecuali kewajiban memakai masker, saya belum melihat ada perubahan berarti. Hanya saja saat check-in, kami cuma dibolehkan untuk membawa 1 carry-on untuk tiap penumpang, padahal biasanya penumpang boleh membawa 2 carry-on ke kabin.

Selesai check-in, security check, barulah terlihat ketidakbiasaan.

Di dalam ruang tunggu boarding, ada 2 coffee shop yang tutup. Penumpang pun tidak banyak, padahal sekarang high-season. Lantai diberikan stiker jarak aman di jalur penumpang boarding. Dan tidak semua tempat duduk boleh digunakan. Pengaturannya selang seling.

Aturan social distancing di ruang tunggu bandara Chania

Aturan social distancing di ruang tunggu bandara Chania

Pesawat yang membawa kami ke Athens berangkat tepat waktu. Alhamdulillaah cuaca begitu cerah. Jarak tempuh dari Chania ke Athens (dan sebaliknya) sekitar 50 menit, sebegitu singkat. Seperti terbang dari Jakarta ke Lampung, ya?

Di dalam pesawat setiap penumpang dan awak kabin WAJIB memakai masker. Tidak boleh dilepas. Kecuali saat menikmati snack yang diberikan pramugari.

Brian dengan masker dengan corak Disney. Gemes ngga sih? Ini buatan istri bosnya.

Brian dengan masker dengan corak Disney. Gemes ngga sih? Ini buatan istri bosnya.

Tiba di bandara Athena, tidak tampak protokoler keamanan Covid untuk kami. Diperiksa suhu pun tidak. Mungkin karena kami terbang dari dalam Yunani. Namun seperti pemakaian masker dan aturan social distancing berlaku sama seperti di bandara Chania.

Aturan tempat duduk untuk social distancing di bandara Athena

Aturan tempat duduk untuk social distancing di bandara Athena

Kami punya sekitar 4 jam di bandara Athena, tidak begitu terasa lama karena kami habiskan di depan laptop. Brian seperti biasa hanyut dengan bacaan atau video yang lumayan ‘berat’ dan sedikit memusingkan, sementara saya disibukkan menyunting video untuk kanal Youtube saya.

Pukul 3.10 sore kami terbang ke Santorini. Selama 45 menit perjalanan ke Santorini kami disuguhi pemandangan indah dari gugusan pulau-pulau kecil dikelilingi air laut biru jernih berkilau di perairan laut timur Mediterranean.

Belum tepat pukul 4 sore kami tiba di bandara Thera, Santorini.

Bandara ini tidak besar, namun juga tidak bisa dibilang kecil.

Turun dari pesawat, ada dua pintu masuk ke dalam bandara: pintu untuk penumpang dari negara uni eropa dan bukan dari uni eropa.

Selesai dengan urusan bagasi, kami lekas keluar. Dari kejauhan Brian sudah dapat melihat supir penjemput kami dengan kertas di dadanya bertuliskan nama saya, NIZAR.

Beranjak meninggalkan bandara Thera, kami disuguhi hamparan laut Aegean dan bangunan-bangunan khas Santorini: putih, dan berkubah.

Hanya 20 menitan saja kami sudah tiba di desa Oia, tempat akomodasi kami selama di Santorini. Kami disambut Dimitra, host kami, yang sepertinya sudah sedari tadi menunggu di titik drop-off mobil penjemput kami. Dimitra bilang jarak ke ‘rumah’ kami di Oia hanya sekitar 3-5 menitan saja berjalan kaki.

Benar memang, kurang dari 5 menit kami sudah tiba di Airbnb kami, dan WOW, kami hanya bisa berdecak kagum. Kenyataan yang kami lihat memang sesuai dengan foto-foto yang ditampilkan di laman Airbnb rumah ini.

Indah, bersih, besar, nyaman, dan dipenuhi fasilitas lengkap. Serasa di rumah sendiri saja. Buat yang penasaran, tenang, nanti akan ada tulisan khusus untuk akomodasi kami di Oia, Santorini ini.

Dimitra pamit setelah memberikan tur keliling rumah, dos and donts selama di Santorini, menjelaskan spot-spot yang biasa turis kunjungi, dan juga daftar rumah makan yang buka saat pandemik seperti ini.

Setelah istirahat, bebersih tubuh, dan sholat, Brian mengajak saya untuk jalan-jalan santai sekitaran akomodasi kami sekaligus mencari makan malam. Saya masih lelah sebenarnya, tapi ternyata perut saya lebih lelah, berteriak untuk diasupi sajian bergizi.

Bulan Juli dalam dunia pariwisata masuk ke dalam hitungan high-season. Biasanya selama Juni-Agustus jumlah turis melonjak tajam, apalagi di Santorini, salah satu tujuan wisata dunia. Dari cerita mertua dan beberapa teman, sepertinya Santorini bukan tempat yang ‘nyaman’ untuk tipe turis seperti kami (yang sebisa mungkin menghindar dari keramaian) untuk dikunjungi karena harus bersinggungan dengan puluhan ribu turis lain.

Tapi tidak bulan Juli kali ini.

Di Oia banyak restoran, toko, dan bisnis perjalanan yang belum buka.

Di kastil Oia tidak ada kumpulan manusia yang berdesakan menunggu matahari terbenam.

Santorini kosong.

Sedih rasanya, but what can I do?

Setelah melihat secuil desa Oia, satu jam sebelum maghrib, kami pun sepakat untuk mencicipi hidangan di SKALA, salah satu restoran yang direkomendasikan oleh Dimitra.

Saat melihat menu, saya langsung pesan ikan bakar. Sementara Brian, ah mungkin baru di raka’at ke sepuluh Brian bisa menetapkan pilihan. Sebegitu lamanya.

Brian: Pasta seafood & salad. Saya: ikan bakar dan sedikit tumis sayur.

Brian: Pasta seafood & salad. Saya: ikan bakar dan sedikit tumis sayur.

Tidak lama pesanan kami pun datang. Seafood pasta dan salad untuk Brian, sementara ikan bakar (dan tumis sayur sebagai pelengkapnya) untuk saya.

Kami menikmati makan malam ditemani melodi semilir angin, hamparan biru laut Aegean, dan langit yang berangsur berubah senja. Rencana esok dan tiga hari ke depan pun kami susun sambil makan malam.

Selesai menikmati hidangan makan malam dan seiring notifikasi adzan maghrib dari iPhone saya, kami pun beranjak kembali ke penginapan kami.

Saya ingat sekali di senja pertama kami di Santorini, saat berjalan kembali ke penginapan, Brian menggandeng tangan saya seraya bilang “We are lucky to be here now.”

Iya, memang kami beruntung.

Tidak hanya karena kami bisa ke Santorini, tapi karena berkah dan anugerah lain yang kami punya.

Bersyukur sekali saya bisa menikmati makan malam di Santorini ditemani suami, saat yang lain sedang ditimpa kesulitan. Sungguh, hina rasanya ketika saya masih merasa kurang apalagi berkeluh kesah dengan hidup saya.

Kayanya Alloh koq sayaaaang sekali sama kami, padahal kami masih lalai. Jauh dari kata ta’at.

Aaah koq jadi sedih dan melow gini!

Anyway, kami putuskan ke Fira, ibukota Santorini, esok harinya. Dan akan saya tulis di blog selanjutnya!


Salaam.

Santorini sejenak setelah senja.

Santorini sejenak setelah senja.